Total Tayangan Halaman

Resep Makanan Batak

C A R I

Minggu, 21 Agustus 2011

Sejarah Masuknya Kristen ke Suku Batak

Sejarah masuknya agama Kristen pada suku Batak adalah sejarah yang menceritakan masuknya injil dan konteks perkembangannya sekitar tahun 1820-an hingga berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya; mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala.[rujukan?] Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.

Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.

Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan kehancuran.

Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat

Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.

Pada tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.

Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatera. Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab. Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani. Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar. Pada tahun yang sama—tepatnya pada 7 Oktober 1861—diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).

Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak:
“ Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunannya! Segera Sibaso jatuh ke tanah. ”

-Ludwig Ingwer Nommensen-

Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya. Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan raja Batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.


Suku Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamanya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame (kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881—jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Pada tahun 1881, Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Suku Batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompunta (Nenek Kita). Gelar ini menyejajarkan Nommensen dengan Si Singamangaraja atau tokoh sakti lainya.




* Disaudr dari : http://id.wikipedia.org